Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengajak anak-anak sekolah, pelajar SMA khususnya, agar kembali mau membaca koran (media cetak). Salah satunya, dengan membuat sebuah aktivitas yang secara tidak langsung mengharuskan mereka membaca koran. Model kegiatan seperti itulah yang saya percayai bersama kawan-kawan di kantor, mampu menstimuli pelajar untuk memiliki minat lebih besar dalam mengkonsumsi informasi dari media cetak.
Karena kantor saya tak punya dana memadai untuk mengkampanyekan minat baca koran inilah, saya pun menawarkan pelbagai program kepada stakeholder kantor. Seperti kerjasama dengan PLN dan Pertamina lewat lomba menulis artikel dan majalah dinding tentang hemat listrik dan energi.
Nah, kali ini, giliran Departemen Keuangan kami ajak kerjasama. Sungguh, awalnya tak mudah meyakinkan kawan-kawan Humas Depkeu, agar mau mendukung program yang kami tawarkan, berupa kampanye tentang APBN dan minat baca secara sekaligus. Program itu kami kemas dalam tajuk “Olimpiade Membaca APBN Tk SMA se-Indonesia”. Mengapa “membaca APBN”? Apakah sekadar membaca dalam arti yang harfiah?
Tentu saja bukan. “Membaca” adalah sebuah strategi branding saja, yang bermakna kontekstual berupa memahami, mengerti, dan mengkritisi. Ya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), adalah sebuah instrumen kenegaraan, dituangkan dalam bentuk UU yang memiliki makna esensial bagi sebuah negara. Ia adalah “jendela alias perut” pembangunan sebuah negara. Bagaimana sebuah negara hendak menjalankan pembangunan dan darimana uang untuk membangun itu diperoleh, gambaran makronya bisa dilihat dari struktur APBN yang tiap tahun disampaikan pemerintah guna mendapat persetujuan dari DPR RI.
Sejujurnya, inspirasi program yang dituangkan dalam bentuk lomba menulis artikel dan debat antar SMA ini, berasal dari event serupa seperti Olimpiade Fisika, Matematika, Biologi, dll, yang sudah kadung popular itu. Jadi, kami memang mendompleng popularitas brand olimpiade-olimpiade tersebut, untuk kemudian kami ganti dengan pesan tentang APBN.
Hampir empat bulan sejak ide ini kami gulirkan kepada kawan-kawan di Depkeu, titik terang persetujuan pun baru muncul. Sekitar bulan April 2007, kami pun lalu diundang oleh Kepala Bagian Hubungan Media Humas Depkeu Eddy M Effendi untuk mendiskusikan proposal kami itu. Ketika bertemu di ruangannya, gedung Depkeu, ia memperlihatkan kepada saya dan kawan-kawan dari kantor bukti otentik persetujuan prinsip Sekretaris Jenderal Depkeu. “Mantap sekali disposisi Sekjen, mas,” ujar Eddy kepada saya sembari menebar senyum cerah.
Secara ide, sebenarnya ia dan saya sudah sepakat bahwa gagasan program Olimpiade Membaca APBN tk SMA ini adalah sebuah kampanye yang menarik dan penting, untuk menyosialisasikan hal-ikhwal APBN kepada generasi masa depan. Apalagi, Eddy –yang ketika itu baru saja kembali dari kunjungan ke Jepang—juga melihat di negara seperti Jepang, sosialisasi mengenai state budget kepada kalangan pelajar sudah biasa dilakukan. Dan efeknya memang positif. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat luas terhadap state budget cukup tinggi di negara-negara tersebut. Nah, kenapa di Indonesia tidak dilakukan hal serupa. Kebetulan pula, kami datang dengan ide yang sama. Klop dan tepat sekali momentumnya. Huh……..!!!
Saya pribadi tentu luar biasa tersanjung melihat langsung disposisi Sekjen Depkeu yang diperlihatkan kepada kami itu. Bahkan, tanpa tedeng aling-aling, Eddy mengakui jika proposal kami memperoleh apresiasi tinggi dari Sekjen. “Proposal Anda dipuji-puji Sekjen lho mas,” katanya dengan nada jujur. Saya pun lalu menimpali, “Kalau begitu, saya pindah saja ke Humas Depkeu, pak, agar bisa lebih sering buat proposal yang disetujui Sekjen,” kata saya sambil berkelakar. “Wah, akan jadi pesaing berat saya kalau Anda pindah ke Depkeu,” balasnya tak kalah humorisnya.
Wooooooowwww..!!! Kelakar semacam itu selalu menyegarkan bagi saya. Selalu mampu memompa semangat kreatif saya untuk lebih berkembang lagi dalam memunculkan ide-ide kreatif yang positif.
Meski sudah memperoleh disposisi dari orang Nomor 2 di Depkeu, toh, yang namanya birokrasi –sesuatu yang kadang saya tak habis pikir, tapi toh harus menelan permakluman—kami mesti menunggu dan mengikuti prosedur lumayan panjang hingga start program mulai 17 November 2007 di Jogja.
Kami harus melakukan presentasi ulang di depan Kepala Biro Humas Depkeu Samsuar Said, misalnya, pada bulan Juni 2007. Antara Juli sampai Oktober, saya terus mendesak kapan realisasi program itu akan berjalan, karena kami di kantor juga harus bersiap menyelenggarakan kongres XXII SPS, yang diadakan tanggal 12 – 15 Nov 2007 di Jakarta.
***
Akhirnya, setelah beberapa kali mengalami revisi budget maupun jumlah kota lokasi program –dari 9 kota menjadi 4 kota plus grand final di Jakarta—program itu akhirnya berjalan juga. Sebanyak 536 pelajar SMA dan sederajat dari Jogjakarta, Jakarta, Medan, dan Denpasar, ditambah 288 guru pembimbing dari total 78 sekolah setingkat SMA terlibat dalam program yang untuk pertama kalinya dalam sejarah republik ini pernah diadakan. Ups….!!! Kebanggaan saya jelas makin membuncah mengetahui program ini belum pernah diadakan sebelumnya. Tapi, saya sadar, sesuatu yang pertama selalu tak mudah untuk dijalankan. Walau semangat dan optimisme kesuksesan senantiasa saya pelihara dalam hati.
Jogjakarta adalah kota pertama yang saya singgahi bersama kawan-kawan SPS Pusat maupun Depkeu. Tanggal 16 Nov 2007, saya terbang ke Jogja untuk menyiapkan technical meeting (TM) program tersebut di depan calon peserta yang dikumpulkan oleh panitia lokal di kampus FE UPN Veteran Jogja. Mengapa Jogja sebagai kota pertama? Ini lebih karena keyakinan dan fakta predikat Jogja sebagai kota pelajar yang mendorong kami memilih Jogja lebih dahulu, dengan harapan antusiasme calon peserta lebih besar. Kalau Jogja bisa mendapat 100 peserta, misalnya, maka untuk kota lain, kami sudah akan sangat puas meski hanya memperoleh separonya saja. Demikian asumsi yang saya kembangkan dan yakinkan lepada kawan-kawan Depkeu.
Alhamdulillah…. Dari 100 sekolah yang kami undang mengikuti TM, tak kurang 33 sekolah mengirimkan perwakilan guru atau siswa. Dalam TM ini, kami menjelaskan prosedur dan mekanisme lomba debat dan menulis artikel. Seperti lomba debat adalah tim atau beregu, sementara lomba menulis artikel bersifat individu. Saat TM kami juga membagi poster, flyer, CD berisi video dokumenter tentang APBN, dan bahan-bahan hard copy tentang APBN. Semua materi promo itu, kecuali hard copy APBN, kami kemas dengan bahasa anak-anak muda. Karena itu, kami menggandeng sebuah advertising agency untuk menyiapkan promo tools APBN seperti itu.
Hanya berselang hampir dua pekan kemudian, event lomba debat kami gelar di Jogja, di tempat yang sama dengan pelaksanaan TM sebelumnya. Sebelum menggelar lomba di Jogja, saya keliling ke tiga kota lain –Jakarta, Medan, dan Denpasar—untuk mengadakan TM serupa di ketiga kota itu. Di masing-masing kota, saya ditemani kawan yang berbeda dari kantor maupun Depkeu.
Tanggal 27 Nov 2007 petang, seusai melakukan TM di Denpasar siang sebelumnya, saya pun terbang ke Jogja untuk mempersiapkan event lomba debat tersebut. Esok harinya, tiga kawan saya dari kantor plus enam kawan dari Depkeu ikut bergabung di Jogja. Dan, seperti rencana awal, selama dua hari –tanggal 29 dan 30 Nov 2007—lomba debat APBN kami mulai dari Jogja. Tiga puluh sembilan tim debat dari 25 SMA se-Jogjakarta dan sekitarnya dan 57 peserta menulis artikel dari 27 SMA di wilayah tersebut mengikuti program ini.
Melihat animo peserta sebesar itu, saya sempat merinding dan surprised. Walaupun sebelumnya saya sudah memperkirakannya. Adrenalin saya pun berdegup penuh gairah. Bahkan passion saya kian menjadi-jadi manakala selama proses lomba debat maupun uji artikel pada hari kedua event terhadap 10 nominator peserta yang berhasil kami seleksi pada hari pertama, saya menemukan sejumlah kejutan menyegarkan.
Sekadar contoh, gagasan dari Judika Putri Sinaga, siswa kelas 1 (IX) SMA Stella Duce 2 Jogjakarta, yang mengemukakan tentang perlunya didirikan Kementerian Anggaran Pendidikan. Ia merasa gemas mencermati presentase anggaran pendidikan dalam APBN yang tak kunjung bisa mencapai 20 persen sebagaimana amanat Konstitusi UUD 1945 kita. “Agar anggaran pendidikan bisa sesuai amanat konstitusi dan penggunaannya efektif dan efisien, saya mengusulkan perlu adanya Kementerian Anggaran Pendidikan, yang terlepas dari Departemen Pendidikan,” usulnya dalam artikel yang diperlombakan.
Gagasan segar lain berasal dari Nuzul Dwi Iswanti, siswa kelas X SMAN 1 (Teladan) Jogjakarta. Dalam artikelnya mengenai Tax Amnesty dan Underground Economy. Nuzul mengharapkan agar ada pengampunan pajak bagi para pelaku underground economy, supaya mereka di masa mendatang bisa digiring menjadi pembayar pajak yang potensial. Intinya, Nuzul menginginkan adanya insentif perpajakan untuk menarik minat para pembayar pajak potensial agar kelak selalu mematuhi kewajibannya. Termasuk para pelaku ekonomi bawah tanah itu.
Hasil Lomba Debat di Yogyakarta
Ranking |
Sekolah/Tim |
Kota |
1 |
SMA Muhammadiyah 2 |
Yogyakarta |
2 |
SMAN 9 (B) |
Yogyakarta |
3 |
SMAN 8 (B) |
Yogyakarta |
4 |
SMAN 1 (B) |
Yogyakarta |
5 |
SMAN 7 (A) |
Yogyakarta |
6 |
SMAN 1 (B) |
Ngaglik – Sleman |
7 |
SMAN 8 (A) |
Yogyakarta |
8 |
SMAN 1 (A) |
Ngaglik – Sleman |
9 |
SMAN 1 (A) |
Yogyakarta |
10 |
SMAN 9 (A) |
Yogyakarta |
Hasil Lomba Menulis Artikel di Yogyakarta
Ranking |
Nama |
Sekolah/Kota |
1 |
Nuzul Dwi Iswanti |
SMAN 1 Yogyakarta |
2 |
Judika Putri Sinaga |
SMA Stella Duce 2 Yogyakarta |
3 |
Elza Firanda Riswandi |
SMAN 7 Yogyakarta |
4 |
Gentur Adiutama |
SMAN 5 Yogyakarta |
5 |
Febi Puspitasari |
SMAN 5 Yogyakarta |
6 |
Dita Mayasari |
SMAN 9 Yogyakarta |
7 |
Nur Indah Arfianti |
SMA N 1 Sleman |
8 |
Nina Anggita Wardani |
SMAN 4 Yogyakarta |
9 |
Janu Arlin Wibowo |
SMAN 1 Yogyakarta |
10 |
Annisa Yuniarti Utami |
SMAN 1 Jetis Bantul |
Ide-ide segar dari para pelajar semacam ini jelas menjanjikan banyak hal. Gaya mereka dalam berbicara, tak kalah dengan mahasiswa dan kaum intelektual lainnya. Diantara mereka, cenderung lugas dan kritis, tapi –seperti usia mereka— tetap bernuansa anak-anak baru gede. Kombinasi yang segar untuk dinikmati. Usai Jogja, sudah menunggu Jakarta, kota kedua kami selenggarakan event serupa. ***
Saya usul bagaimana kalau naskah pemenang pertama sampai ketiga dari masing-masing wilayah dipublikasikan dalam bentuk buku dan diterbitkan sebagai bahan bacaan siswa SMA. Khan ini berhubungan dengan kampanye minat baja juga. Terima kasih.