Organisasi wartawan terbesar di republik ini –Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)— pada tanggal 28 – 29 Juli lalu menyelenggarakan Kongres XXII di Banda Aceh. Subyek paling krusial dari pesta demokrasi organisasi yang lahir pada 9 Februari 1946 itu, tak lain adalah pemilihan pengurus anyar, khususnya ketua umum. Ketua Umum PWI Pusat 2003 – 2008, Tarman Azzam, tak mungkin lagi bisa dipilih, pasalnya ia sudah menjabat dua periode berturut-turut sejak 1998 ketika terpilih pertama kali pada Kongres XX di Semarang. Dan berlanjut pada hasil Kongres XXI di Palangkaraya, Oktober 2003.
Saya hadir di tengah-tengah Kongres PWI ini dalam kapasitas sebagai penulis buku tentang Tarman Azzam (TA) yang bertajuk “Tarman Azzam: Bangkit Indonesiaku”. Selain itu, saya juga hendak mengamati jalannya suksesi kepemimpinan di tubuh organisasi ini. Apakah PWI akan dipimpin oleh figur muda yang progresif, inovatif, dan kreatif?
Mulanya, saya hendak mengikuti rombongan pengurus PWI Pusat yang naik Hercules dari Halim Perdanakusumah. Namun karena kesulitan mendapat tempat duduk, saya pun akhirnya berangkat dengan Lion Air. Itu pun saya mendapat harga tiket paling mahal, kelas “Y”. Tak apalah, yang penting saya tidak melewatkan momentum penting ini. Apalagi ada agenda soft launching buku TA yang akan diikuti dengan lelang buku tersebut. Seluruh hasil lelang –yang merupakan ide pribadi saya kepada TA— setelah dikurangi biaya produksi akan disumbangkan untuk mengisi kas kepengurusan PWI Pusat periode 2008 – 2013.
Tepat pukul 12.45 WIB, Minggu (27/7), Lion Air yang saya tumpangi dari Jakarta, mendarat mulus di Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM), Banda Aceh. Sebelum mendarat, pesawat Boeing 737 seri 400 tersebut, sempat berputar di sekitar landasan pacu, menunggu giliran karena di depannya ada Sriwijaya Air dari Medan yang akan landing pula. Pada saat memutar itulah, saya merasakan hembusan angin yang lumayan kencang di luar pesawat, yang terasa di kabin dan membuat pesawat sedikit berguncang.
Tak banyak yang berubah dari bandara SIM Banda Aceh. Terminal kedatangannya masih sangat sempit, membuat setiap penumpang yang datang harus berdesakan di dalamnya, apalagi yang mengurus bagasi. Fasilitas toilet juga sangat terbatas, hanya ada dua buah untuk masing-masing pria dan wanita. Namun, di bagian sisi sebelah kanan belakang berjarak 100 meter dari terminal keberangkatan, kini tengah dikebut gedung terminal keberangkatan dan kedatangan penumpang yang anyar. Tower bandara yang baru pun sedang dalam proses penyelesaian, lengkap dengan tempat parkir kendaraan.
Untuk ukuran sebuah bandara medium yang cukup banyak mengundang kehadiran penumpang domestik maupun internasional, keberadaan terminal bandara SIM memang sudah sangat ketinggalan zaman. Butuh perluasan. Nah, terminal yang lama ini nantinya akan dibongkar dan dimanfaatkan sebagai apron pesawat.
Sejak 2006, pada medio Juli, ketika saya pertama kali mengunjungi bumi Serambi Mekkah, hati saya sudah “jatuh cinta” pada Tanah Rencong. Dibalik berbagai kisruh politik, keamanan, dan ekonomi yang pernah melanda propinsi paling barat dari Republik Indonesia ini, Aceh diberkahi Allah SWT dengan berbagai kekayaan alam dan –ini yang menarik—wajah-wajah ayu kaum wanitanya. Siapa sih tak kepincut keindahan wajah-wajah para “Cut” di Aceh???? Ada sebuah pameo menarik setiap kali berkunjung ke Aceh. “Tak lengkap jika belum berjumpa “mata biru”,” begitu bunyi pameo itu.
“Mata biru” adalah sebuah sebutan untuk kaum perempuan di Aceh yang memang memiliki kelompak mata berwarna biru, sebagai indikasi keturunan bangsa Portugis yang pernah merapat di wilayah ini pada abad 17. Mereka ini umumnya mendiami sebuah kawasan di daerah pegunungan di pesisir pantai barat menuju Meulaboh. Jika ditempuh perjalanan bermobil dari Banda Aceh, memakan waktu sekitar tiga jam. Umumnya mereka enggan bersosialisasi dan membangun keluarga baru dengan lelaki dari luar wilayah tempat tinggalnya. Seorang kawan menyeletuk kepada saya, “Mereka itu orang gunung, tapi cantik-cantik lho.” “Ah, masa?” tanya saya belum percaya.
Hasan Daud, seorang pengemudi “taxi tembak” yang tinggal di kawasan Ulee Kareng, membawa saya dengan mobil Toyota Kijang diesel kesayangannya dari bandara ke hotel Hermes Palace, di kawasan simpang BPKP, Banda Aceh. Di hotel inilah sebagian besar rangkaian acara Kongres XXII PWI akan berlangsung. Selama perjalanan dari bandara menuju hotel itulah ia berkisah tentang masa-masa suram saat Aceh masih dilanda konflik. Salah satu ceritanya antara lain tentang “hilangnya” para pengemudi taxi setelah mengantar tamu dari bandara menuju kota. Jika ada seorang tamu dari Jakarta tiba di Banda Aceh, lalu menyewa taxi dari bandara menuju kota sembari bercerita tentang keadaan (keamanan) Aceh secara keseluruhan, aneh bin ajaib, malam harinya si pengemudi taxi itu hilang. “Kemana hilangnya?” tanya saya penuh selidik. “Ya, tidak tahu pak. Padahal dalam mobil itu hanya ada dua orang, tak ada orang lain lagi,” imbuh Hasan.
Kini, peristiwa-peristiwa aneh semacam itu memang telah lenyap, seiring kian kondusifnya situasi keamanan dan politik di wilayah yang paling belakangan dijajah Belanda ini.
***
Jauh-jauh hari sebelum Kongres XXII PWI, suara-suara yang menginginkan Tarman Azzam –populer dipanggil TA—untuk kembali menaiki tahta tertinggi PWI Pusat santer beredar. TA bukan tidak memahami aspirasi itu, yang dipicu oleh kecemasan sementara kalangan di tubuh PWI, bahwa kelak organisasi itu akan merosot popularitasnya jika tidak menemukan figur sekaliber TA sebagai calon ketua umum.
Tapi untunglah, TA memahami risiko yang jauh lebih besar jika dia tergoda untuk tetap menjadi orang Nomor Satu PWI. Antara lain, dirinya akan dicap sebagai pengkhianat demokrasi, perusak konstitusi organisasi, serta seabrek julukan tidak pantas lainnya. TA lebih memilih untuk mendorong suksesi kepemimpinan di PWI secara wajar, sesuai siklus menurut konstitusi organisasi. Yakni mengundurkan diri dan memilih pengabdian lain, yang barangkali salah satunya masih di seputar organisasi PWI.
Buat saya, pilihan TA memang cuma itu. Tak ada lain. Dan ketika keputusan TA sudah bulat, sejak beberapa minggu jelang kongres berlangsung, sejumlah nama calon pengganti TA mulai muncul ke permukaan. Diantara mereka tersebutlah nama Parni Hadi (Direktur Utama RRI), Wina Armada (Anggota Dewan Pers), Kamsul Hasan (Ketua PWI Jaya), Dhimam Abror (Pimpred Surya Surabaya), H A Muchyan (Ketua PWI Cabang Sumut), Margiono (Pimpinan Rakyat Merdeka Jakarta), dan Sasongko Tedjo (Ketua PWI Cabang Jawa Tengah).
Parni Hadi, adalah sosok yang paling senior dibanding keempat calon lain itu. Ia bahkan pernah menduduki jabatan Sekjen PWI di masa Orde Baru, 1993 – 1998, dan ikut bertarung melawan TA pada Kongres XX PWI di Semarang, 2003. Kehadiran Parni, bagi saya sebenarnya kurang pas. Selain mengesankan haus kekuasaan, keinginan dia untuk mendaki pucuk PWI Pusat juga menunjukkan persepsi keengganan generasi senior guna memberi jalan bagi generasi lebih muda untuk memimpin PWI.
Toh begitu, manuver dan gerilya yang dilakukan tim sukses Parni tak kendor. Di simpang BPKP, yang cuma berjarak 200 meter dari hotel, spanduk ucapan selamat kongres XXII PWI dari RRI dengan foto Parni Hadi terpajang menyolok. Beberapa orang kepercayaan Parni, sejak minggu lalu juga telah menjalin komunikasi politik dengan TA maupun para pengurus PWI Pusat yang lain. Pun di arena kongres, saya amati mereka mencoba merapat ke sejumlah pengurus PWI.
Bagaimana dengan Wina Armada? Sejak 2006 ia terpilih menjadi anggota Dewan Pers. Wina antara lain besar dan dibesarkan oleh majalah Forum Keadilan. Pada tahun 2005, ia memimpin Harian Merdeka, namun tak mendulang sukses. Kini, aktivitas keseharian dia adalah sebagai Redaktur Senior harian Neraca. Sebuah koran ekonomi lawas yang dulu dibidani (alm) Zulharmans.
Di kalangan internal PWI, saya melihat ada sebuah “jarak” yang membentang antara Wina –yang notabene adalah Sekjen PWI Pusat 2003 – 2008— dengan TA dan kelompoknya. Wina, dipandang kelompok TA, kurang kontributif kepada PWI, terlebih sejak ia berada di Dewan Pers. Pernah dalam sebuah rapat pleno di kantor PWI Pusat, jelang Hari Pers Nasional (HPN) 2008, saya mendapati sebuah situasi “menegangkan”, tatkala Atal S Depari, Ketua SIWO PWI Pusat, dengan nada agak tinggi mempertanyakan kontribusi Dewan Pers bagi pelaksanaan HPN. Menurutnya, bagaimana mungkin Wina dalam kapasitas sebagai “orang dalam PWI” di Dewan Pers tak bisa membantu mengegolkan dukungan Dewan Pers pada HPN.
TA terlihat juga agak tegang ketika itu. Dengan nada cukup tinggi, dia berujar, “Kalau Dewan Pers tak mau bantu, tak soal. Tapi jangan sampai mendikte jalannya acara HPN,” sembur TA di hadapan peserta rapat.
Soalnya bermula dari rumor yang berkembang, bahwa Dewan Pers hanya mau membantu HPN apabila seluruh moderator dalam sesi Konvensi Nasional Media Massa, yang diselenggarakan sehari sebelum puncak HPN, berasal dari anggota Dewan Pers. Wina menganggap, isu yang sampai ke telinga TA itu belum putus. Artinya masih bisa dinegosiasi. Tapi, belum juga terang masalahnya, sudah membuat sebagian pengurus PWI Pusat merasa berang. Sasaran tembak pun diarahkan kepada Wina yang menanggapi “serangan” dari sejumlah pengurus PWI dengan mencoba tetap tenang.
Dalam garis yang berbeda, Wina yang sebelumnya begitu akrab dengan Ilham Bintang (Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat dan bos Cek & Ricek Grup), terlihat mulai berjauhan. Ilham, saya lihat lebih merapat ke kubu TA. Padahal, Wina dan Ilham sebelumnya dikenal sebagai sosok-sosok yang “seru” di kalangan pengurus PWI Pusat.
Minggu (27/7) malam, di kampus Universitas Syah Kuala, saya mendapat sedikit kejutan kecil. Ketika itu, saya tengah berdiskusi dengan Octo Lampito (Ketua PWI Cabang Jogjakarta), yang juga Pemimpin Redaksi Harian Kedaulatan Rakyat. Di tengah hangatnya diskusi sambil minum teh itu, saya menanyakan kepada Octo, ke mana suara PWI Cabang Jogjakarta akan diarahkan. “Aku membawa amanat kawan-kawan di konfercab agar memilih Wina, mas,” aku Octo kepada saya.
Tak selang berapa lama kemudian, tiba-tiba dari arah belakang punggung saya, Wina menghampiri kami berdua. Saya bilang ke Wina, jika suara Jogja sudah bulat hendak diberikan kepada dirinya saat proses pemilihan Ketum PWI nanti. Wina pun dengan wajah sumringah berterima kasih kepada Octo. Hanya saya sampaikan sedikit catatan kecil kepadanya, bahwa ada kesan sementara orang jika dia “kurang serius” alias easy going. Karena itu harus lebih serius seandainya kelak terpilih sebagai Ketua Umum PWI Pusat. “Ah, itu kan pendapat Tarman,” balas Wina kepada saya. Saya pun menepis, bahwa pandangan itu tak ada urusannya dengan TA, tapi murni pandangan beberapa orang yang pernah berdiskusi dengan saya mengenai sosok Wina. Semakin jelas bagi saya, Wina akan terus melaju mencalonkan diri. Berarti, persaingan pun semakin sengit.
Di luar aspek kesan “ketidakseriusan” Wina selama ini dalam berorganisasi di PWI, saya menilai Wina sebenarnya berpotensial. Qua intelektual, dia termasuk salah satu dari sedikit generasi pasca TA yang cukup berbobot. Ia kerap menulis di berbagai media cetak serta menerbitkan sejumlah buku tentang hukum dan pers. Faktor inilah yang barangkali mampu mengkontribusi “kenasionalan” ketokohan Wina.
Calon ketiga adalah Sasongko Tedjo. Ketua PWI Cabang Jawa Tengah ini sehari-hari adalah Pemimpin Redaksi Harian Suara Merdeka, Semarang. Ia terbilang generasi sebaya Wina. Alumnus FH Universitas Diponegoro, ini memang belum begitu popular namanya di level nasional. Meski demikian, ia bisa mewakili aspirasi dari kalangan penerbit media cetak yang mapan.
Dua hari sebelum kongres berlangsung, saya mendengar kabar jika ia mengundurkan diri dari proses pencalonan. Namun tatkala saya bertemu dengannya di hotel Hermes Palace, Banda Aceh, Minggu (27/7) siang saat baru datang dari Jakarta, ia mengatakan jika akan tetap maju dalam pencalonan Ketua Umum PWI Pusat. Saya sampaikan, bahwa saya pribadi mendukung penuh dirinya jika memang hendak maju sebagai kandidat Ketum PWI Pusat. Pengalaman Sasongko selama memimpin PWI Jawa Tengah, adalah bekal cukup berharga untuk merangkak di kancah nasional.
Namun, malam harinya, Sasongko tampaknya tidak setegas siang harinya tatkala kami berdiskusi ringan soal ke mana arah peta persaingan kandidat Ketua Umum PWI Pusat. Dari hasil obrolan saya dengannya, terlihat ia lebih memilih opsi seperti PWI Cabang Jogjakarta. Hendak merapat kepada Wina, tapi dengan catatan agar “kabinet PWI Pusat” di bawah kepemimpinan Wina –kelak jika ia terpilih—harus di-back up dengan figur-figur yang kuat dalam berorganisasi. Sasongko juga mengakui secara eksplisit keterbatasan dia sebagai “orang daerah” jika kelak terpilih kalau maju sebagai calon. Bagaimana repotnya harus mondar-mandir Jakarta – Semarang dalam menjalankan tugas-tugas sebagai ketua umum. Inilah pertimbangan realistis dari dirinya. Dengan demikian, saya anggap Sasongko tak lagi akan maju dalam pemilihan ketua umum Selasa (29/7) malam.
Bagaimana dengan Dhimam Abror? Pemimpin Redaksi harian Surya, Surabaya, ini di mata sebagian orang Jawa Pos dinilai sebagai “desertir”. Kepindahannya dari Jawa Pos ke Surya, setahun silam, masih menorehkan sedikit rasa pilu di kalangan pimpinan Jawa Pos Grup. Apalagi, Surya –yang notabene dikelola kelompok Kompas Gramedia– adalah “musuh bebuyutan” Jawa Pos di Surabaya.
Bagaimana dengan Kamzul Hasan? Saya no comment. Selain tak mengenal secara pribadi sosoknya, saya juga belum pernah mendengar kiprahnya dalam percaturan jurnalis secara luas di Jakarta maupun secara nasional. Setahu saya, Kamsul adalah wartawan Pos Kota. Tapi kini sehari-hari ia konon lebih banyak menjabat sebagai Ketua Koperasi Karyawan Pos Kota. Jumat (25/7) malam, di kantor PWI Pusat, kabarnya Kamsul sempat dipanggil TA untuk “dipersiapkan” melaju dalam suksesi PWI Pusat.
Jika ia benar-benar hendak mencalonkan diri, dugaan saya ia didukung penuh oleh kelompok Pos Kota, yang secara tradisional memang telah lama berkecimpung di PWI Pusat. Sejak generasi Harmoko, kemudian disusul Sofjan Lubis, hingga Tarman Azzam.
Calon lain yang tak bisa dipandang enteng adalah Margiono. Pada kepengurusan TA, ia adalah Ketua Bidang Pembinaan Daerah PWI Pusat. Namun selama lima tahun kepengurusan berjalan, saya amati MG (sapaan karib Margiono) kurang kontributif pada PWI. Lalu, mengapa dia kini ingin maju sebagai calon ketua umum? Saya mendapat informasi, sebelum kongres, MG sempat bertemu TA, menanyakan apakah TA mau maju lagi? Dijawab TA tidak, maka MG pun lalu mengatakan jika demikian dirinya ingin mencalonkan diri sebagai ketua umum.
Rencana MG pun bahkan sudah mendapat restu dari orang nomor satu di kelompok Jawa Pos, Dahlan Iskan, yang kebetulan juga sebagai Ketua Umum SPS Pusat. Minggu (27/7) malam itu, saya berjumpa Budi Rahman Hakim, Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka. Budi meminta saya membantu lobi kepada para peserta kongres. “Lho, aku ini kan bukan anggota PWI, bos. Mana mungkin bisa mempengaruhi mereka,” kata saya kepadanya. Budi pun menukas, “Sekurangnya bantu-bantu mendekatkan MG kepada mereka lewat lobi-lobi.”
Saya pun bertanya lagi, apakah MG benar-benar serius ingin maju. Pasalnya, MG selama ini dinilai banyak pengurus dan anggota PWI kurang kontributif pada organisasi. Budi pun menjawab tegas bahwa MG benar-benar serius, melihat selama ini di matanya, PWI harus “diselamatkan” agar bisa maju dan berkembang. Untuk meyakinkan keseriusan itulah, Budi lalu menunjukkan sms dari Dahlan Iskan kepada dirinya yang saya baca berbunyi singkat, “Setuju MG maju!”
Dukungan MG boleh jadi lumayan besar. Selain restu dari bos, ia juga bakal mendapat suara dari cabang-cabang PWI yang dipimpin oleh orang-orang Jawa Pos Grup. Salah satu yang sudah jelas adalah dari Kepulauan Riau. Ketua PWI Cabang Kepri adalah Socratres, Pemimpin Redaksi harian Batam Pos.
Calon terakhir yang saya tahu adalah H A Muchyan. Ketua PWI Cabang Sumut ini yang sehari-hari adalah Wakil Pemimpin Redaksi Medan Pos milik Ibrahim Sinick, tampaknya serius sekali mempersiapkan diri. Di arena kongres berlangsung, ia memasang dua buah standing banner yang berisikan pesan dirinya sebagai calon Ketua Umum PWI Pusat 2008 – 2013. Bukan cuma itu saja. Muchyan juga membagi-bagikan PIN dan buku tentang dirinya. Dukungan suara untuknya saya yakin pasti berasal dari PWI Cabang Sumut. Selebihnya? Masih misterius.
***
Pesta belum juga dimulai, tapi ingar-bingar pesta sudah mulai muncul. Tampaknya, kongres PWI kali ini akan mempertontontan dinamika demokrasi yang paling meriah. Satu decade lalu, saat TA terpilih untuk pertama kali sebagai Ketua Umum PWI pada Kongres XX di Semarang, persaingan hanya berlangsung dengan Parni Hadi. Sementara pada Kongres XXI di Palangkaraya, 2003, ia terpilih secara aklamasi, tak ada pesaing satu pun.
Nah, kali ini, ada enam kandidat yang muncul. Namun melihat kalkulasi politik di atas, saya kira kandidasi akan mengerucut kepada dua nama saja –Wina Armada dan Margiono. Parni dan Muchyan saya anggap sebagai kuda hitam yang akan mewarnai jalannya kongres. Begitukah? Kita lihat saja bagaimana hasilnya nanti. ***
tulisan dengan gaya seperti ini, nampaknya cukup enak untuk dibaca dan memnambah pengetahuan kita, salut
Mas Asmono, kenalan mas. Sy kebetulan aja kemarinan lihat blog mas ini. Terus kok ya ada juga keinginan bikin blog. Ya udah, mumpung ada waktu, aku realisir. Nah, karena Anda yang membuat sy berpikir bikin blog pribadi gini, aku mau terima kasih via ini aja. Thanx bgt ya mas. Biar aku gak kenal, tapi aku ngelihat mas orang baik, jadi mungkin suatu saat bs ketemu. Saya, Emil Syarif mas. Kalo tulisan mas, aku ikuti beberapa, seperti: yang ini, PWI ini.
Oh ya Mas, kalo mas Asmono melihat satunya dua tampuk pimpinan gitu gimana mas. Ya PWI ya SPS, maksud sy soal Bang Mg dan Bos DI. Apa dari sisi Anda dan kerabat Anda, yang orang press tulen hal itu biasa-biasa aja, atau malah buangus banget, atau mungkin…ya biarin deh tapi kalau Anda sendiri gak ma begitu…atau gimana mas. Mungkin nanti lama-lama kita kenal, aku tau deh gimana sosok Mas ini sebenarnya.
Thanks lagi mas. By.
Emil.